Jakarta, 26 April 2025 Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian, membuka peluang untuk merevisi Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Hal ini didorong oleh banyaknya kasus organisasi masyarakat sipil (OMS) yang bertindak di luar batas, termasuk melakukan intimidasi, pemerasan, dan kekerasan. Tito menyoroti pentingnya pengawasan yang lebih ketat, terutama dalam transparansi keuangan OMS, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Revisi UU Ormas dan pengetatan pengawasan keuangan OMS bukan merupakan solusi yang efektif untuk menangkal persoalan OMS intimidatif dan pelaku kekerasan horizontal. Tindakan utama yang seharusnya diambil oleh pemerintah adalah melakukan penegakan hukum yang tegas dan adil terhadap OMS yang melakukan pelanggaran. Pernyataan Mendagri Tito Karnavian justru berpotensi salah sasaran dan melanggengkan hegemoni OMS intimidatif dan pelaku kekerasan horizontal, sebab masalah kritikalnya tak terletak pada transparansi keuangan. Selengkapnya, menyikapi pernyataan Mendagri Tito Karnavian terkait peluang revisi UU Ormas yang berfokus pada pengawasan yang lebih ketat dan transparansi keuangan OMS, kami Koalisi Kebebasan Berserikat, menyampaikan pandangan kami sebagai berikut:
Pertama, sikap dan pernyataan Mendagri menunjukkan bahwa negara masih menganggap organisasi masyarakat sipil (OMS) sebagai ancaman, sehingga pemerintah masih memainkan peran yang sentralistik dan belum memberikan ruang yang lebih luas terhadap partisipasi masyarakat melalui OMS. Dengan adanya rencana pengawasan yang berlebihan tersebut, semakin memperlihatkan masih adanya kekuasaan absolut bagi negara yang sangat superior dan berwenang untuk mengontrol warga negara, serta memosisikan rakyat sebagai objek.
Kedua, permasalahan terkait penegakan hukum yang tidak tegas. Alih-alih melakukan penegakan hukum terhadap OMS yang melakukan intimidasi, pemerasan, dan kekerasan, pemerintah justru mempermasalahkan kekosongan hukum dengan melakukan revisi terhadap UU Ormas. Pelanggaran hukum yang dilakukan oleh staf/pegiat dari OMS seharusnya dapat merujuk pada UU Ormas, KUHP, UU ITE, dan undang-undang lainnya, serta tidak membutuhkan revisi UU Ormas.
Ketiga, UU Ormas merupakan alat represi bagi masyarakat sipil. Temuan Koalisi Kebebasan Berserikat menunjukkan bahwa terdapat pola pembatasan dan pelanggaran bagi OMS melalui implementasi UU Ormas, antara lain 1) pengaturan kewajiban pendaftaran bagi OMS dengan memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT); 2) pemberian stigma ilegal atau liar bagi OMS yang tidak terdaftar, serta antek asing bagi OMS Indonesia; 3) pengawasan secara berlebihan bagi OMS dan ruang sipil dengan pendekatan politik-keamanan; 4) pelarangan aktivitas bagi OMS yang tidak terdaftar; 5) pembatasan akses sumber daya bagi OMS; 6) pembubaran OMS tanpa melalui proses peradilan; hingga 7) adanya sanksi pidana yang dapat digunakan untuk mengkriminalisasi staf/anggota OMS. Pola pembatasan tersebut menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan dan mengulang praktik yang dijalankan pada masa otoritarianisme Orde Baru. Bahkan, pembubaran OMS oleh pemerintah dalam negara hukum demokratis adalah satu bentuk pelanggaran prinsipil dari konstitusi dan hak asasi manusia. Alih-alih mendorong prinsip due process of law, pemerintah malah mempersempit kebebasan berserikat bagi OMS di Indonesia melalui rencana pengawasan yang lebih ketat terhadap transparansi keuangan masing-masing OMS.
Keempat, kekeliruan konseptual menyebabkan permasalahan akuntabilitas. Penting untuk terlebih dahulu melihat subjek hukum dan menentukan keabsahan hukum sebuah organisasiapakah organisasi tersebut berbadan hukum atau tidak. Jika suatu organisasi memilih tidak berbadan hukum, seharusnya pengawasan terhadap keuangan tidak perlu dilakukan karena tidak ada kewajiban untuk mempertanggungjawabkan/melaporkan keuangan organisasi non-badan hukum kepada negara.
Kelima, revisi UU Ormas yang dituju oleh Mendagri justru menghidupkan kembali pendekatan politik-keamanan ala Orde Baru yang memandang partisipasi warga sebagai ancaman stabilitas, sehingga mengancam hak konstitusional untuk berserikat dan berkumpul. Pendekatan ini rawan menyebabkan penanganan hukum berbasis stigma dan pembubaran preventif, bukan pada penegakan hukum berbasis bukti. Oleh karena itu, UU Ormas seharusnya tidak direvisi, melainkan dicabut karena mengandung kekeliruan konseptual yang menempatkan negara sebagai pengawas, bukan penjamin kebebasan berserikat. Reformasi hukum kerangka hukum sektor masyarakat sipil perlu segera dilakukan dengan membahas dan mengesahkan UU Perkumpulan.
Jakarta, 30 April 2025
Hormat Kami,
Koalisi Kebebasan Berserikat – Organisasi yang bergabung:
1. Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA);
2. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK);
3. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM);
4. IMPARSIAL;
5. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta)
6. Lembaga Bantuan Hukum Samarinda (LBH Samarinda);
7. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet);
8. Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia Indonesia (SEPAHAM Indonesia);
9. Jaringan Gusdurian;
10. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI);
11. Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung);
12. Lembaga Bantuan Hukum Pekanbaru (LBH Pekanbaru);
13. Indonesian Parliamentary Center (IPC);
14. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem);
15. Indonesia Corruption Watch (ICW);
16. Borneo Institute