Deputi Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Fajri Nursyamsi memberikan keterangan ahli untuk Perkara Nomor 81/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi pada Senin (14/7/2025). Proses pembentukan dan pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dinilai cacat secara formil karena melanggar sejumlah prosedur tanpa melalui tahap perencanaan dan penyusunan, serta tidak melaksanakan asas keterbukaan dan partisipasi yang bermakna.
Menurut Fajri, tata cara pembentukan undang-undang merupakan unsur yang sama pentingnya dengan materi muatan dan memiliki nilai konstitusional untuk memastikan tegaknya prinsip-prinsip demokrasi, negara hukum, dan HAM. Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) harus dibahas bersama oleh DPR dan Presiden sebelum disetujui secara bersama. Ketentuan ini diharapkan untuk menciptakan mekanisme checks and balances, atau saling mengawasi dan mengimbangi kekuasaan antara DPR dan Presiden. “Namun pada pelaksanaannya, proses pembentukan Undang-Undang kerap menjadi ruang kedap suara, seolah hanya individu-individu dalam lembaga DPR dan Presiden yang berkepentingan, padahal apapun Undang-Undang yang kemudian disahkan akan mengikat semua penduduk Indonesia tanpa terkecuali.” tegas Fajri.
Berdasarkan pemantauan yang dilakukan PSHK, terdapat tiga temuan yang menunjukkan pelanggaran prosedur dalam pengesahan UU TNI. Pertama, UU 3/2025 disahkan tanpa pernah sah masuk sebagai RUU prioritas 2025. Fajri menjelaskan bahwa RUU Revisi UU TNI dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 melalui Rapat Paripurna 18 Februari 2025, namun agenda tersebut tidak pernah diumumkan secara resmi. “Ada dua prosedur yang dilanggar dalam pengesahan tersebut, yaitu pengesahan perubahan Prolegnas 2025 yang tidak diagendakan dalam Rapat Paripurna, dan tidak adanya pertimbangan Badan Legislasi DPR (Baleg) yang mendasari dilakukannya Prolegnas perubahan untuk memasukan RUU revisi UU TNI.” jelas Fajri.
Kedua, UU 3/2025 disahkan tanpa melalui tahap penyusunan. Fajri membantah klaim bahwa RUU ini merupakan kelanjutan (carry over) dari periode DPR sebelumnya. Terdapat dua alasan utama: Pertama, pada Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025, RUU Revisi UU TNI tidaklah dikategorikan sebagai RUU carry over. Kedua, pada proses pembentukan RUU Revisi UU TNI periode lalu, Presiden belum pernah mengirimkan Surat Presiden dan DIM untuk pembahasan. yang menjadi syarat utama sebuah RUU dapat dilanjutkan pembahasannya.
Ketiga, UU 3/2025 disahkan tanpa memenuhi asas keterbukaan dan tidak menerapkan partisipasi yang bermakna dalam pembahasannya. Dalam proses pembentukannya, Draft RUU Revisi UU TNI tidak pernah secara resmi dipublikasikan oleh DPR. Draft baru dipublikasikan melalui website DPR ketika sudah disahkan. Hal ini berdampak terhadap tidak adanya partisipasi bermakna oleh masyarakat, apa yang menjadi masukan bersifat abstrak dan tidak berkaitan dengan pasal-pasal yang sedang dibahas. “Adapun penjelasan yang diberikan oleh DPR melalui berbagai kesempatan melalui media, tidak pernah dapat dipahami konteksnya karena publik tidak dapat membandingkan dan menganalisa terhadap draft RUU yang sedang dibahas.” jelas Fajri. Minimnya keterbukaan pembahasan diperburuk dengan adanya pembahasan RUU Revisi UU TNI yang dilaksanakan di hotel yang merupakan wilayah privat, yang sulit dijangkau oleh publik.
Fajri menegaskan bahwa pengesahan UU 3/2025 dilaksanakan dengan melanggar tahapan perencanaan dan penyusunan, serta tidak memperhatikan asas keterbukaan sehingga berdampak tidak tercapainya partisipasi bermakna. Sebagai penutup, Fajri menekankan bahwa sudah saatnya Mahkamah Konstitusi melalui kewenangannya dalam melaksanakan uji formil UU 3/2025 terhadap UUD 1945 meluruskan kembali, dan memberikan rambu-rambu pelaksanaan tata cara pembentukan Undang-Undang agar memenuhi prinsip demokrasi, negara hukum dan HAM.