Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) memenuhi undangan audiensi yang diselenggarakan oleh Komisi Percepatan Reformasi Polri pada Selasa, 2 Desember 2025. Kegiatan yang dilaksanakan di Kementerian Sekretariat Negara itu bertujuan untuk menghimpun masukan dari berbagai pemangku kepentingan mengenai arah kebijakan reformasi Polri ke depan. Dalam forum tersebut, PSHK memaparkan temuan awal dari kajian reformasi kelembagaan Polri, yang menelaah pelaksanaan fungsi kepolisian, cakupan kewenangannya, serta tantangan pengawasan eksternal.
PSHK menilai bahwa keluasan kewenangan Polri, minimnya transparansi, dan lemahnya mekanisme akuntabilitas telah menjadi faktor penting yang mempengaruhi kondisi kebebasan sipil di Indonesia. Karena itu, agenda reformasi kelembagaan Polri perlu diarahkan untuk memastikan pelaksanaan fungsi kepolisian sejalan dengan prinsip negara hukum dan penghormatan hak asasi manusia.
Dalam audiensi tersebut, Deputi Direktur Eksekutif PSHK, Fajri Nursyamsi, menyampaikan tiga hal utama yang perlu menjadi perhatian dalam perumusan reformasi Polri. Pertama, penegasan kembali batasan kewenangan penegakan hukum berdasarkan mandat konstitusional, yakni Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 terkait fungsi keamanan dan ketertiban serta Pasal 24 ayat (3) yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana.
Kedua, perlunya penataan ulang kewenangan-kewenangan Polri yang berkembang setelah terbitnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengingat 56 dari 256 kewenangan yang ada justru berada di luar fungsi utama keamanan dan ketertiban. Ketiga, kebutuhan mendesak atas penguatan pengawasan eksternal yang independen dari struktur eksekutif, dengan kewenangan menerima laporan, melakukan pemeriksaan, memberikan sanksi, hingga menangani banding atas hasil pengawasan internal.
Selain PSHK, sejumlah organisasi masyarakat sipil juga memberikan rekomendasi dalam audiensi tersebut. Beberapa organisasi itu, yakni Institute for Criminal Justice System (ICJR), WatchDoc, Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Indonesia Police Watch (IPW), Public Virtue Institute, Gerakan Reforma Agraria, dan Tim Advokat untuk Pemberantasan Aksi Premanisme (TUMPAS).
Bersama Fajri, hadir pula Direktur Eksekutif Rizky Argama dan peneliti Bugivia Maharani yang turut mewakili PSHK. Melalui penyampaian rekomendasi ini, PSHK berharap proses penyusunan kebijakan reformasi Polri dapat berlangsung lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pemajuan hak asasi manusia serta penguatan demokrasi di Indonesia. (BM)
Sumber foto: Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia
