Sebelas warga negara Indonesia, yakni Rohman, Muhammad Awal Gunadi, Marda Ellius, Roili, Pralensa, M. Fausi, Muhammad Hairul Sobri, Muhkamat Arif, Anyelir Putri Rahayu, Rendy Zuliansyah, dan Muhammad Husni, mengajukan gugatan ganti kerugian dan pemulihan lingkungan hidup melalui mekanisme pertanggungjawaban mutlak (strict liability) terhadap tiga perusahaan kehutanan: PT Bumi Mekar Hijau (Tergugat I), PT Bumi Andalas Permai (Tergugat II), dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (Tergugat III). Gugatan diajukan melalui Pengadilan Negeri Palembang Kelas 1A Khusus.
Para Penggugat berasal dari Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, masyarakat yang terdampak langsung oleh kabut asap akibat kebakaran lahan gambut berulang sejak 2005 sampai 2023 dalam konsesi Para Tergugat yang berada dalam kawasan Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan–Sungai Lumpur (KHG SSSL). Kawasan ini merupakan ekosistem gambut dalam yang sangat rentan terhadap degradasi dan kebakaran, terutama akibat pembangunan kanal drainase masif sejak tahun 2004 hingga 2014.
Sejak tahun 2003 hingga 2020, kawasan KHG SSSL mengalami sedikitnya 7 kali kebakaran besar, yang terus berulang dan bereskalasi pada 2015, 2019, dan 2023. Luas area terbakar secara kumulatif di konsesi Para Tergugat (2001–2020) mencapai 473.857 hektar, dengan 217.000 hektar terbakar hanya dalam periode 2015–2020.
Selama periode 2015–2020, total luas lahan terbakar di Sumatera Selatan mencapai 1.012.681 hektar, di mana 565.436 hektar berada di Kabupaten OKI. Dari jumlah tersebut, sekitar 254.787 hektar atau hampir 45% merupakan area dalam konsesi Para Tergugat.
Pada 2015 terjadi kebakaran masif, dengan emisi karbon dari Sumatera Selatan mencapai 30,9 Gt CO₂e (SIPONGI KLHK). Pada 2019 dan 2023: Kebakaran kembali terjadi secara luas dengan sebaran asap terdeteksi dari citra satelit hingga ke pemukiman warga di Desa Lebung Itam, Desa Kuro, Desa Bangsal (Kabupaten OKI), dan Kota Palembang. Asap berlangsung hingga lebih dari 1 bulan dalam beberapa kejadian, berdampak pada kesehatan, ekonomi dan aktivitas sosial warga.
Pada periode 2015–2020, lahan terbakar di konsesi Para Tergugat mencapai 254.787 hektar, setara dengan 45% dari total kebakaran di Kabupaten Ogan Komering Ilir. Pada tahun 2023, kebakaran kembali terjadi seluas 35.336 hektar dalam konsesi tersebut.
Di saat yang sama, petani lokal ditangkap karena diduga membakar satu hektar lahan, sementara korporasi dengan skala kebakaran jauh lebih besar tidak dikenai tindakan hukum. Ketimpangan ini mencerminkan diskriminasi dalam penegakan hukum lingkungan dan kegagalan negara menegakkan prinsip keadilan ekologis.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah izin Para Tergugat berkontribusi secara signifikan menimbulkan kabut asap di sekitar wilayah Kabupaten OKI dan Kota Palembang serta Sumatera Selatan secara umum pada tahun 2015, 2019 dan 2023.
Para Tergugat jelas telah secara signifikan mengakibatkan terlepasnya asap ke udara yang berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan bagi ekosistem yang akhirnya menimbulkan kerugian akibat kabut asap. Akibat kebakaran lahan konsesi Para Tergugat menyebabkan kabut asap yang terjadi pada tahun 2015-2023 menimbulkan kerugian bagi Para Tergugat, yaitu tidak bisa menyadap karet karena asap yang terlalu tebal, tidak bisa memanen padi, harus membeli obat-obatan karena menderita batuk, inspeksi saluran pernapasan akut (ISPA), jarak pandang berkendaraan hanya dua meter sehingga sering terjadi kecelakaan, dada sesak, pernapasan terganggu, tidak bisa bekerja sebagai tukang karena kabut asap, kumpai tembaga yang dipergunakan sebagai pakan kerbau menjadi langka yang menyebabkan hewan mati, rawan pencurian kerbau dan hewan ternak lainnya karena jarak pandang yang terbatas dan mempersulit pengawasan, menurunnya produktivitas susu kerbau, sebagai mahasiswa harus mengurangi jam belajar, suhu badan meningkat, gatal-gatal, biaya menanam karet lebih mahal, penurunan pendapatan dan produktivitas karet, terbakarnya rumah walet, berguguran daun-daun karet berdampak pada produksi getah karet, harus selalu menyediakan obat, produktivitas budidaya walet menurun karena sarang walet dimasuki asap, nelayan sulit mendapatkan ikan karena asap, sering terjadi kecelakaan di sungai akibat jarak pandang hanya dua meter, waktu pengeringan karet menjadi lebih lama karena kabut asap, terbakarnya lahan karet, produktivitas tanaman karet menurun, aktivitas belajar dan mengajar menjadi berhenti/libur.