Persoalan penggusuran warga di Pulau Rempang belum kunjung usai, bahkan cenderung memanas. Hal itu terjadi seiring dengan pernyataan dan posisi berbagai pihak di pemerintahan yang terus menyudutkan masyarakat yang merupakan korban dari rencana pemerintah mengosongkan area Pulau Rempang. Reaksi penolakan masyarakat bukan tanpa alasan. Selain karena tidak ada sosialisasi yang memadai perihal rencana dan kompensasi yang diberikan, tindakan penggusuran oleh pemerintah dilakukan dengan kekerasan dan penembakan gas air mata.
Konflik yang terjadi dalam sepekan terakhir ini merupakan bentuk perlawanan masyarakat Pulau Rempang atas upaya perampasan hak kepemilikan pribadi sekaligus hak asal usul mereka yang tidak dapat dinilai dengan nominal uang. Imbauan yang disampaikan oleh Presiden dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan agar tindakan tidak dilakukan secara represif, terbukti tidak dilaksanakan di lapangan.
Pengerjaan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Pulau Rempang saat ini menggambarkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap hak-hak fundamental rakyat. Situasi ini serupa dengan PSN Bendungan Bener di Wadas yang tetap berjalan, meskipun tidak memiliki perizinan dan AMDAL serta mendapat penolakan dari masyarakat. Nyatanya, konflik yang ditimbulkan oleh pembangunan PSN tidak sesederhana tentang pembebasan lahan seperti yang selalu ditekankan oleh pemerintah. Aspek sosial dan budaya masyarakat terdampak, serta permasalahan lingkungan akibat pembangunan PSN, luput dari ruang evaluasi pemerintah. Pembangunan PSN yang seharusnya ditujukan untuk memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru digunakan untuk menggelar karpet merah bagi para investor. Apabila tetap dipertahankan, praktik demikian akan menjadi preseden dan warisan yang buruk untuk mengakhiri periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dalam kondisi tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus segera bertindak menjalankan peran konstitusional sebagai penyeimbang kekuasaan Presiden, sebagaimana dilekatkan dalam Pasal 20A UUD 1945. DPR harus menggunakan kewenangan pengawasan untuk memanggil Presiden dan para Menteri terkait untuk meminta pertanggungjawaban atas konflik yang terjadi di Pulau Rempang, serta mendorong agar upaya penggusuran tidak dilanjutkan. DPR harus berpihak pada masyarakat, yaitu melindungi hak eksistensi masyarakat yang sudah berada di wilayah tersebut sejak ratusan tahun lalu. Segala upaya yang dilakukan oleh negara adalah untuk memastikan pelindungan HAM masyarakat, bukan justru mencabutnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mendesak:
- Para anggota DPR yang berasal dari daerah pemilihan di mana lokasi konflik terjadi, dengan tambahan dukungan dari fraksi dan anggota DPR lainnya, untuk menginisiasi pengajuan hak interpelasi kepada Presiden guna meminta pertanggungjawaban atas segala kebijakan penggusuran lahan di Pulau Rempang;
- DPR melalui rapat paripurna perlu menyepakati usulan hak interpelasi dan segera memanggil Presiden untuk menciptakan solusi jangka pendek dalam upaya melindungi hak masyarakat Pulau Rempang; dan
- DPR secara kelembagaan harus melaksanakan fungsi pengawasannya untuk memastikan tindakan represif aparat penegak hukum tidak terjadi kembali, dan upaya penggusuran dihentikan segera;
- Pemerintah harus mengkaji ulang penentuan Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan memastikan keterlibatan masyarakat terdampak dalam pembahasan dan pengambilan keputusannya.